Thursday, March 25, 2010

Setahun Ganti Logo 2 Kali?

Logo awal Koperasi Samba Mandiri




Ingat post tgl 12 Februari 2010? Judulnya "Koperasi Samba Mandiri, kredit gampang, nabung aman: a new logo with tag line"?

Bisa dikatakan saat itu Koperasi Samba Mandiri "mengganti" logonya untuk pertama kali setelah launching tahun 2009. Disebut mengganti karena walaupun logo "KSM" maupun tulisan "Koperasi Samba Mandiri" tidak diubah sedikitpun namun adanya kalimat "kredit gampang, nabung aman" mampu memperbaharui jiwa Koperasi Samba Mandiri. Berikut logo dengan tag line tersebut:

logo lama

Beberapa minggu yang lalu, aku minta bantuan teman untuk memperbaiki logo "KSM" agar menjadi 3 dimensi, seperti pita yang dibentuk sedemikian hingga menjadi tulisan "KSM". Nah berikut ini adalah logo baru, yang beruka cuma "KSM"nya saja.



logo baru

Lebih ok kan logo yang baru? Koperasi Samba Mandiri diharapkan seperti bibit mangga yang terus bertumbuh, semakin besar dan semakin menguntungkan. Pohon mangga, ketika kecil, perlu dipupuk, perlu disiram, pertumbuhannya pun masih lambat. Buah belum ada. Tapi semakin besar pohonnya maka pertumbuhannya makin cepat, mulai menghasilkan buah, semakin besar pohonnya, semakin banyak buahnya tapi disisi lain perawatan yang diperlukan semakin sedikit. Ga perlu lagi pupuk, ga perlu lagi disiram bahkan di musim kemarau sekalipun.

Terus bertumbuh Koperasi Samba Mandiri.



History logo KSM (Koperasi Samba Mandiri)

Monday, March 8, 2010

Pahami Bisnisnya, Lakukan dengan Hati

Berbisnis atau membuat usaha memang penuh tantangan. Banyak orang yang berjuang jatuh bangun membangun usaha namun belum berhasil. Di sisi lain, ada juga orang yang secara tidak sengaja berhasil memiliki bisnis.
Ada satu contoh. Papa temanku, bekerja disebuah artshop (menjual barang-barang kerajinan produksi dari Bali). Artshop tempat dia bekerja tidaklah rame, jarang sekali ada tamu yang belanja sehingga gaji yang diterima pun pas pasan. Namun begitu, papanya temanku ini tetap bekerja dengan semangat dengan sepenuh hati. Hari demi hari berlalu tanpa ada kejadian yang istimewa, bulan pun berulang dengan angka tahun yang terus bertambah. Artshop yang kecil (jarang rame) membuat papanya temanku bisa punya banyak waktu untuk membaca dan belajar banyak hal.
Suatu hari datang tamu jepang 2 orang (dua-duanya cowo). Yang 1 sudah tua, umur di atas 60-an tahun dan yang satunya lagi masih muda, badan tegap dan kekar. Ketika tamu itu datang hampir semua karyawan berusaha melayani karena memang tidak ada tamu lainnya yang datang. Tamu tua tanya "aku mau beli burung (patung burung) yang jika digantung seimbang, tidak berat sebelah". Semua karyawan mencarikan burung untuk kakek jepang ini. 1 kardus burung dikeluarkan digantung satu demi satu tidak ada yang sesuai. Kardus kedua dikeluarkan, masih tidak ada yang sesuai. Kardus yang ketiga dikeluarkan...1 demi 1 karyawan artshop tersebut menjauh, tidak sabar untuk tetap mencari burung sesuai kriteria yang diinginkan tamu itu. Tinggallah papanya temanku ini seorang diri. Dia tetap semangat, satu persatu burung digantung, terus dan terus begitu. Tamu itu pun marah-marah karena apa yang dia cari tidak ada. Tapi papanya temanku bilang "tolonglah tunggu sebentar, kalau tidak ada disini saya akan carikan digudang, kami masih punya banyak stock, saya yakin ada yang memenuhi kriteria itu"
Hampir 2 jam sudah berlalu, papanya temanku masih mencari. Sampai akhirnya dia minta waktu kepada tamu itu untuk mencari di gudang dan meminta tamu itu menunggu. Tamu tua menjawab "kamu lah burung yang aku cari itu, aku ke Bali tidak sedang mencari burung, tetapi aku mencari rekan bisnis yang ulet, pekerja keras dan memiliki keyakinan yang tinggi akan keberhasilan".

Kisah itu adalah kisah seorang yang memiliki bisnis tanpa disengaja. Tapi bagaimana dengan bisnis yang "sengaja" kita bangun? Apa kira-kira yang kita butuhkan? Hehehe..ini pertanyaan berat, karena aku juga sedang memikirkan bisnis yang bisa dilakukan.
Menurut pendapatku, yang belum aku praktikkan, kalau melakukan suatu bisnis maka kita harus memahami bisnis itu? why, what and how-nya harus kita ketahui, kata Hermawan Kartajaya. Tapi aku ga taulah ilmu tingi-tinggi kayak gitu. Menurutku simpel sih yaitu pahami bisnis yang kita lakukan dan lakukanlah dengan hati.
Ambil contoh bisnis Lembaga Keuangan Micro (LKM) seperti Koperasi Simpan Pinjam atau Lembaga Perkreditan Desa (LPD, ini khusus ada di Bali). Bagaimana memahami bisnis ini? nah ini juga ga aku tahu tapi aku punya contoh orang (kelompok) yang tidak memahami bisnis mereka di LKM.
Ada seorang yang menabung di sebuah LPD di suatu desa di kabupaten Gianyar. Tabungan yang hanya sekitar 10-20 ribu per hari tersebut akhirnya terkumpul sekitar Rp 8 juta. Pada suatu saat, karena kepentingan uang mendadak, orang tersebut ingin meminjam uang sebesar Rp 200 ribu dari LPD. Orang itu sengaja tidak mengambil tabungannya, karena dia merasa sayang uang yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit diambil begitu saja.
Tapi apa jawaban dari pengelola LPD? "Kalau tidak ada jaminan ya kredit ga bisa keluar". Coba dibayangkan sebentar, orang ini percaya kepada LPD sehingga dia mau menyimpan uangnya sebanyak Rp 8 juta di LPD tersebut tapi LPD (dalam hal ini pengurusnya) tidak percaya kepada orang itu untuk meminjamkan uang Rp 200 ribu!!! Jelas pengelola LPD tersebut tidak mengerti bisnis yang dia jalankan. Ya mungkin karena LPD itu bukan punya dia, dia hanya bekerja di sana yang berpikir LPDnya bagus atau jelek gajinya akan tetep.
Pemahan terhadap bisnis inilah yang aku coba tanamkan kepada seluruh pengelola Koperasi Samba Mandiri. Semua harus paham, bahwa Koperasi dengan usaha simpan pinjam sangat bergantung kepada kepercayaan masyarakat, baik percaya untuk menabung, maupun percaya untuk meminta kredit. Untuk itulah ketika orang yang menabung di LPD tadi memindahkan tabungannya ke Koperasi Samba Mandiri dan beberapa bulan sebelumnya dia juga sudah mengambil kredit sebesar Rp 1 juta dari Koperasi Samba Mandiri maka aku katakan kepada MS untuk memberikan dia suku bunga yang special untuk kredit yang masih tersisa yaitu sebesar 1,5% per bulan. Lumayan kan, tabungannya di Koperasi Samba Mandiri, dia juga memiliki kredit di Koperasi Samba Mandiri. Bila dihitung, uang yang dia tabung di Koperasi Samba Mandiri sangat berlebih untuk memberikan dia pinjaman, atau dengan kata lain, ya dia meminjam uangnya sendiri (dalam dunia perbankan, ini namanya kredit back to back).
Dengan memahami bisnis yang kita lakukan, menjalankan dengan hati maka kita akan nyaman dan orang-orang yang kita libatkan dalam bisnis itu jga akan nyaman.
Suskes Untuk Koperasi Samba Mandiri.

Sunday, March 7, 2010

Berbisnis dengan Hati

"Mbok..mbok...mbok..." suara itu terdengar keras bergantian dengan ketukan pintu yang cukup keras. Waktu sudah sekitar jam 8 malam, seperti kebanyakan orang di Kampung, MS pun sudah siap tidur lengkap dengan selimutnya. Namun suara keras yang memanggil dan ketukan pintu dengan frekuansi yang tinggi membuat MS menarik kembali selimutnya dan berdiri dari tempat tidurnya yang berantakan oleh anak-anaknya. MS berdiri dan bergerak cepat menuju ke arah pintu.
Ketika pintu terbuka, seorang lelaki, mungkin umurnya masih kurang dari 30 tahun, berdiri di depan pintu. "Oo Wayan ne..kok tumben malam-malam gini main" tanya MS penasaran. "Mbok tulungin yee cang mbok" (mbak tolong bantu saya, red) kata orang itu tidak sabaran.
MS mempersilahkan Wayan duduk dan meminta menceritakan apa yang terjadi. Wayan pun bercerita dengan nada yang kesal, seolah ingin menumpahkan semua beban berat yang dia hadapi. MS dengan sabar mendengarkan dan sesekali berkomentar untuk menenangkan Wayan yang makin naik pitam.

Itu lah penggalan kisah pilu Wayan, yang mungkin dialami oleh sebagian besar masyarakat kita di pedesaan. Keinginan untuk maju, untuk memiliki barang idaman, seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, keuntungan yang merugikan dan mengecewakan orang lain.

Kredit atau pinjaman, bukanlah hal baru dimasyarakat. Kredit juga tidak tabu. Banyak orang yang dapat berkembang karena kredit. Bayangkan, apabila kita harus menabung dulu baru kemuadian membeli barang secara cash, mungkin harga barang tidak akan terkejar karena inflasi akan menggerus nilai uang kita.
Contoh, tahun 2004, pada awal keluar, harga Xenia adalah Rp 70 juta. Jika kita memiliki uang 14 juta saat itu dan memiliki kemampuan untuk menabung Rp 1.750.000 per bulan, manakah lebih menguntungkan beli Xenia saat itu (tahun 2004) secara kredit dengan DP 14 juta (20% dari harga mobil) atau uangnya ditabung sampai cukup untuk membeli Xenia?
Yang pertama, kita hitung kalau pake kredit (asumsi mengabaikan biaya asuransi dan biaya lainnya karena beli mobil secara tunai pun kita perlu asuransi). Dengan DP 14 juta, maka sisa yang harus di kredit adalah Rp 56 juta (Rp 70 juta - Rp 14 juta). Dengan bunga 12% per tahun menurun dengan jangka waktu kredit 4 tahun, maka angsuran bulan pertama sekitar Rp 1,7 juta dan terus menurun sampai pada bulan ke 48 hanya sekitar Rp 1,2 juta. Total uang yang kita keluarkan sampai dengan mobil lunas adalah Rp 83.720.000.
Yang kedua, kita hitung kalau kita menabung. Dengan memiliki uang Rp 14 juta (bunga tabungan 5% per tahun, bunganya tidak pernah kita ambil) dan setiap bulan kita menabung Rp 1.750.000 maka nilai Rp 70 juta akan tercapai pada bulan ke 30 (sekitar 2,5 tahun kemudian). Tapi berapa harga mobil saat itu? Rp 90 juta. Kita lanjut lagi nabung, dan mencapai Rp 90 juta pada bulan ke 39. Bearapa harga mobil saat itu? Rp 100 juta. Kita lanjut lagi nabung, sampai bulan ke 50, harga mobil terkejar dengan tabungan sekitar Rp 110 juta.
Dengan modal awal yang sama, dengan nilai tabungan/angsuran per bulan lebih kecil jika dengan kredit, pada tahun ke empat kita sama-sama memiliki mobil. Tapi perhatikan lagi, yang membeli dengan kredit sudah 4 tahun memiliki mobil, yang menabung baru pada tahun ke 4 memiliki mobil.
Lalu, yang membeli dengan kredit, total uang yang dikeluarkan berapa? ya betul, Rp 83.720.000. sedangkan yang membeli dengan menabung, berapa keluar uang? Rp 14 juta + Rp 1,75 juta dikalikan 49, ya betul, Rp 99,75 juta.

Dari contoh itu, jelas kredit lebih membantu, akan lebih mempercepat perkembangan kita. Hal yang juga tidak bisa disanggah adalah, "tidak ada perusahaan yang besar tanpa kredit".

Tapi itu semua kredit yang benar, bukan kredit dari seorang rentenir seperti yang dialami Wayan. Malam itu Wayan menceritakan dengan detail bagaimana dia memperoleh kredit dari Mawit.
Berawal dari keinginan untuk memiliki motor, maka diajaklah Wayan oleh seorang temannya ke showroomnya Mawit. Di sana Wayan memilih motor dan akhirnya pilihan pun dijatuhkan. Mawit merayu Wayan untuk membeli motor yang lebih bagus dan menjanjikan kredit kepada Wayan (karena memang budget Wayan tidak cukup untuk membeli motor yang disarankan Mawit). Mendengar janji manis dari Mawit berupa kemudahan proses kredit, Wayan pun terpengaruh.
Dia setuju mengambil motor yang lebih bagus dan pembayaran hanya sebagian, sisanya (sekitar Rp 4 juta) diberikan kredit oleh Mawit dengan bunga menetap 3% per bulan (catatan: bunga Koperasi Samba Mandiri adalah 2% per bulan menetap atau 2,5% per bulan menurun. Dalam istilah perbankan secara umum, bunga menetap = bunga flat, bunga menurun = bunga efektif). Selain bunga yang selangit, administrasi juga besar.
Bulan demi bulan Wayan lalui tanpa masalah. Sampai pada bulan ke 5, Wayan terlambat membayar 1 hari karena ada keperluan lain yang mendesak. Wayan terkejut saat mau membayar angsurannya, karena Wayan harus membayar denda sekitar Rp 31 ribu.
OK, seberapa besar sih Rp 31.000 itu? mari kita hitung.
Pinjaman Rp 4 juta, jangka waktu 2 tahun. Angsuran pokok Rp 166.667 dan bunga (3% per bulan, dihitung tetap dari Rp 4 juta walaupun setiap bulan pokok sudah diangsur, itulah bunga menetap) Rp 120.000. Total angsuran adalah Rp 286.667. So, Rp 31.000 adalah 11% dari Rp 286.667 (tagihan yang harusnya dibayar Wayan). Itu persentase yang sangat tinggi untuk ukuran denda!!!
Bulan itu, Wayan kecewa, tapi Wayan masih tahan dan dia berjanji dalam hati untuk tidak telat lagi agar tidak kena denda. Janji Wayan pun ditepati, 2 bulan berikutnya dia membayar dengan tepat. Namun pada bulan ke 3 sejak dia didenda, Wayan terlambat lagi. Kali ini alasannya adalah karena masalah kesehatan. Tapi Mawit tetap tidak peduli, terlambat berarti denda. Rp 31 rb kembali melayang.
Wayan pun kesal bukan kepalang. Pulang dari tempat Mawit Wayan berpikir keras dan BERTEKAD UNTUK MELUNASI KREDIT TERSEBUT. Tapi bagaimana caranya? Dari mana dapat uang untuk melunasi kredit tersebut? Lama Wayan berpikir. Sapi (yang merupakan "cadangan" utama masyarakat di Kampung) tidak punya, mau jual motor ga mungkin, karena motor itu dipake kerja.
Tiba-tiba...ting....Wayan ingat ada KOPERASI SAMBA MANDIRI yang di kelola oleh MS, tetangga Wayan yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Tanpa berpikir panjang, Wayan pun segera menggeber motornya ke tempat MS.

Setelah mendengar cerita Wayan, MS pun bilang ke Wayan "Ya sudah, pindahin aja kreditnya ke Koperasi Samba Mandiri, besok Wayan tanya ke sana harus melunasi berapa, kan itu kredit bunga menetap, nanti kalau sudah OK, Wayan datang aja ke kantor Koperasi Samba Mandiri, aku pasati bantu".
Dengan wajah yang tampak terhibur Wayan semangat berdiri dan mengatakan "Mbok, aku akan cek ke tempat Mawit malam ini juga!!". Setelah pamitan Wayan pergi.
Keesokan harinya, pagi-pagi Wayan datang ke rumah MS dan melaporkan bahwa semalam dia sudah mengecek jumlah yang harus dia lunasi di Mawit. Setelah dengan beberapa perhitungan, MS pun menyetujui keinginan Wayan untuk memindahkan kreditnya ke Koperasi Samba Mandiri.
Selesai proses pemindahan kredit, Wayan benar-benar lega. Wayan berterima kasih ke MS, kepada Koperasi Samba Mandiri. Memang Wayan tidak sendiri, ada sekitar 4 - 5 orang yang melakukan hal yang sama, memindahkan kreditnya dari Mawit ke Koperasi Samba Mandiri.

Kisah ini membuat aku semakin semangat untuk mengembangkan Koperasi Samba Mandiri, bukan saja untuk membantu mengembangkan ekonomi keluarga Samba, tetapi juga menyelamatkan masyarakat dari rentenir-rentenir yang mengatasnamakan koperasi.
Bunga 3% per bulan masih bisa dikatakan kecil, karena masih banyak "koperasi" yang meminjamkan uang dengan suku bunga 20% dalam 40 hari (pinjaman Rp 500 rb dibayar Rp 15 ribu setiap hari selama 40 hari). Hal inilah yang perlu kita berantas. Samba pernah berada dikondisi itu, pernah berhujan-hujan minjem uang ke tetangga, bahkan pernah sampai digigit anjing (thanks God tidak rabies) ketika mau minjam uang ke rumah tetangga. Tapi kita masih beruntung, tidak sampai terjebak oleh rentenir. Memang aku akui, aku belum bisa menjadi damawan yang membantu tanpa pamrih. Aku akui "bantuan" yang kita berikan bahkan menguntungkan kita, tidak saja investor (pemilik uang) tetapi juga para karyawan yang bekerja di Koperasi Samba Mandiri.
Sukses Koperasi Samba Mandiri, bangun kemandirian keluarga Samba dan seluruh lapisan masyarakat.